Konsili Nikea I: Saat Kekaisaran dan Gereja Menyatu di Meja Konsili
Apa Kabar Magelang – Konsili Nikea I (sekarang İznik, Turki), terjadi peristiwa penting yang tak hanya mengubah arah teologi Kristen, tapi juga hubungan antara kekuasaan dunia dan iman. Konsili Nikea I, konsili ekumenis pertama dalam sejarah Gereja Kristen, menjadi titik awal institusionalisasi kekristenan di bawah bayang-bayang Kekaisaran Romawi.
Latar Belakang: Kekaisaran dalam Krisis, Gereja dalam Konflik
Kaisar Konstantinus Agung, penguasa Romawi yang baru saja melegalkan agama Kristen melalui Edik Milan (313 M), menyadari bahwa persatuan kekaisaran tidak hanya bisa dicapai melalui kekuatan militer. Ia butuh persatuan spiritual, dan konflik internal di tubuh Gereja—khususnya perdebatan antara pengikut Arius dan kaum ortodoks—mulai membahayakan stabilitas.
Arius, seorang imam dari Aleksandria, mengajarkan bahwa Yesus Kristus diciptakan oleh Allah dan bukan sepenuhnya ilahi, sebuah pandangan yang bertentangan dengan keyakinan bahwa Kristus adalah satu hakikat dengan Bapa.
Konflik ini bukan sekadar soal tafsir iman, tapi mulai menggoyahkan keutuhan komunitas Kristen di seluruh wilayah kekaisaran.
Baca Juga: Jokowi Digugat Lagi Soal Ijazahnya di PN Solo, Ini Isi dan Sosok Penggugatnya
Konsili Nikea: Upaya Perdamaian dan Penyeragaman
Dalam semangat menjaga kesatuan kekaisaran, Konstantinus memanggil lebih dari 300 uskup dari berbagai wilayah. Konsili ini menjadi model awal campur tangan negara dalam urusan gerejawi. Meski sang kaisar bukan teolog, kehadirannya menentukan arah dan tekanan politik konsili.
Hasil utamanya adalah:
Pengecaman ajaran Arius (Arianisme) sebagai bidat
Perumusan bagian awal Kredo Nikea, yang menegaskan bahwa Kristus adalah “sehakikat dengan Bapa” (homoousios dalam bahasa Yunani)
Penetapan rumusan dasar perayaan Paskah
Penguatan struktur hirarki gereja, termasuk pengakuan atas otoritas beberapa uskup utama (seperti Uskup Roma dan Aleksandria)
Persimpangan Kekuasaan: Agama dan Negara
Konsili Nikea I menjadi simbol awal keterikatan Gereja dengan kekuasaan politik. Kaisar Konstantinus bukan hanya fasilitator, tapi pengatur perdamaian gereja, bahkan menggunakan wewenangnya untuk mengasingkan Arius dan pendukungnya.
Inilah awal dari dinamika yang akan terus berlangsung sepanjang sejarah: ketegangan antara otoritas rohani dan kuasa duniawi, yang bisa memperkuat, tetapi juga mengancam kemurnian ajaran.
Dampak Jangka Panjang
Meskipun Konsili Nikea tidak langsung mengakhiri perpecahan (Arianisme terus bertahan selama berabad-abad di beberapa wilayah), konsili ini:
Menjadi landasan bagi konsili-konsili berikutnya dalam menentukan dogma Kristen
Menciptakan preseden bahwa doktrin iman dapat dibentuk melalui konsili universal
Mengukuhkan posisi Kekristenan sebagai agama terorganisir dan terstruktur, bukan lagi komunitas bawah tanah
Penutup
Konsili Nikea I bukan hanya soal perdebatan teologis tentang hakikat Kristus. Ia adalah momen sejarah ketika iman dan politik berjumpa dalam ruang pengambilan keputusan, membentuk arah Gereja hingga hari ini.
Dari meja konsili di Nikea, lahirlah bukan hanya rumusan iman, tetapi juga peta jalan baru antara langit dan bumi, antara altar dan istana.